Jakarta,- (Nawacitalink.com)
Begitu lama penulis menunggu, sekiranya ada yang mengulas bahwa judul diatas tidak sekedar menulis ungkapan pada sisi retak atau tidaknya antara Megawati dengan Jokowi. Sebab bagaimana pun, melihat jilatan api yang melambung tinggi tidak berarti mengungkapkan dari mana sumber api itu berasal. Sehingga pemberitaan saat ini seolah-olah kebakaran yang sulit melihat kearah sumber api termasuk mengungkapkan apa yang menjadi penyebabnya.
Sekiranya seseorang menelaah lebih dalam, tentu tanpa harus melihat kearah kobaran api tersebut, setidaknya akan mampu memprediksi kenapa kebakaran itu bisa terjadi. Sehingga dengan dasar pemikiran itulah menjadikan seseorang akan memaklumi tentang apa dan bagaimana menilai situasi yang tampak saat ini yang dikatakan publik sebagai keretakan diantara mereka berdua.
Fakta yang dikritik oleh berbagai pihak tentang “cawe-cawe politik” dianggap sebagian orang sebagai ketidaknetralan dirinya dalam ikut campur terhadap pilpres 2024 yang akan datang.
Pemahaman atas pengertian netral yang dangkal ini semestinya diluruskan dan dipahami oleh semua pelaku politik bahwa peran negara sesungguhnya harus berkomitmen kepada kemajuan bangsa dan negaranya, serta menghindari kemungkinan terburuk bagi eksistensi pemerintah dimasa depan nantinya.
Bahkan seorang Presiden semestinya memungkinkan untuk mengambil keuntungan politik dari berbagai alasan dalam upaya menciptakan dampak yang menguntungkan rakyatnya pada sisi manapun. Termasuk menyingkirkan berbagai upaya yang akan berdampak terhadap negara dan bangsa ini atas prilaku politik dari siapa dan kelompok apapun yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Tentu saja pada sikap ini publik akan menyepakati bahwa apa yang dilakukan Jokowi terhadap cawe-cawe politiknya dapat dibenarkan secara mutlak. Sebab pemahaman demokrasi dan aturan berdemokrasi sesungguhnya hanya berorientasi bagi kemajuan negara dan rakyatnya.
Kebebasan memilih dan dipilih tidak berarti membiarkan pihak-pihak tertentu yang secara bebas mengadakan persekongkolan guna menghasut masyarakat sebagai upaya pengingkaran konstitusi bernegara dari sistem pemilihan LUBER yang selama ini diterapkan agar mengambil keuntungan bagi kelompok tertentu melalui terbukanya upaya dalam mengambil kekuasaan dari jalur pemilihan umum yang tersedia.
Sebab, walau bagaimana pun suatu niat untuk melakukan kejahatan belum dapat ditindak secara hukum oleh karena tidak adanya dampak kerugian negara, serta tidak ada pula korban terhadap suatu perkara.
Sinyal politik pun dimulai manakala beliau menyebutkan agar parpol jangan sembrono dalam memilih capres yang diusungnya. Hal itu disampaikannya agar setiap partai cermat dalam menentukan capres dan cawapres yang nantinya akan disajikan sebagai pilihan rakyat.
Namun entah dasar pertimbangan apa, ada saja partai politik yang memilih seorang capres walau secara nyata sosok tersebut tidak memiliki prestasi bahkan rekam jejaknya cenderung menghambur-hamburkan keuangan negara.
Maka, sudah barang tentu ini mengindikasikan adanya potensi yang menghambat kemajuan negara dibalik terbukanya pilihan yang buruk melalui penerapan politik identitas yang dimainkan demi memenangkannya. Membiarkan hal itu terjadi akan berakibat pada penilaian publik atas kelalaian seorang Presiden yang dianggap tidak mampu mencegah dampak buruk bagi bangsa ini.
Belum lagi dinamika politik yang saat ini mengemuka dari adanya perspektif pemikiran tentang seperti apa sosok pemimpin bangsa ini pasca berakhirnya masa jabatan Jokowi. Sebab dari kacamata elit politik saat ini, faktor kepemimpinan seorang Presiden mutlak ditentukan oleh loyalitas dan kontribusi dari koalisi yang mendukungnya. Oleh karenanya, langkah politik pemerintah yang akan berkuasa nanti harus memiliki wadah koalisi yang kuat dibalik pemimpinnya yang tegas pula. Pada strategi inilah gagasan koalisi besar itu menjadi solusi bagi kepastian penerapan atas langkah good government dan good governance.
Dimana koalisi besar itu akan dibangun atas dasar keseimbangan hak dan kesetaraan terhadap peran dan fungsinya. Sehingga faksi-faksi koalisi memiliki kesamaan kedudukan, serta tidak ada satu partai pun yang mendominasi kewenangan dari kekuasaan pemerintah kedepan.
Cara pandang terhadap eksistensi sebuah negara memang tergantung dari posisi mana prinsip seseorang itu meletakkan skala prioritas yang diutamakan. Pentingnya penegakkan ideologi memang sepatutnya menjadi landasan berbangsa dan bernegara. Artinya, walau negara mengalami goncangan seperti apapun, persatuan dan kesatuan dalam mewujudkan kecintaan masyarakat terhadap bangsa ini tidak boleh pupus oleh kepentingan pragmatisme apapun.
Apalagi menukarnya dengan sekedar kompensasi yang bersifat materil. Pada prinsip ini, semua orang akan paham bahwa Megawati merupakan sosok yang amat disiplin dalam menerapkan ideologi Pancasila terhadap para kader partainya guna menjadi pijakan terhadap berbagai persoalan yang melilit bangsa ini. Sebab bagaimana pun, bangsa yang kuat adalah bangsa yang mencintai negerinya sendiri
Namun, tanpa mengurangi betapa pentingnya ideologi negara sebagaimana penulis sebutkan diatas, bahwa kesejahteraan yang sering dicita-citakan harus pula menjadi komponen yang diutamakan pula.
Sebab negara tidak boleh terus menerus berkamuflase atas janji-janji kesejahteraan bagi rakyatnya, dimana sejak masa orde baru hingga memasuki era reformasi sekalipun, kesejahteraan ini belum pernah terwujudkan, sekalipun Megawati pernah menjabat Presiden didalam masa waktu tersebut. Artinya, janji-janji ini tidak pernah mampu ditunaikan oleh presiden mana pun sebelumnya. Maka tak heran jika Jokowi yang memiliki background selaku seorang pengusaha bersikukuh untuk menciptakan kesejahteraan rakyat melalui strategi pembangunannya agar ekonomi Indonesia bangkit. Bahkan disebutkannya bahwa hanya dalam masa 13 tahun kedepan Indonesia berkesempatan menjadi negara maju.
Tentu saja beliau memproteksi segala kemungkinan agar tujuan ini tidak menemui kegagalan, baik terhadap lawan politiknya, maupun bagi pihak yang menjadi mitra politiknya pula. Termasuk dinamika internal partainya sendiri.
Pemikiran akan pentingnya membangun ekonomi yang kuat menjadi titik fokus beliau dalam menggapai kemakmuran negara dan kesejahteraan rakyat. Sebab banyak negara berkembang dimana rakyat mereka yang miskin, mengalami kenaikan resistensi atas kejahatan publik.
Dimana alasan utamanya adalah dempak kemiskinan serta minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Pada titik inilah cara pandang itu seolah-olah menjadi keretakan antara dirinya dengan Megawati yang sesungguhnya sama-sama peduli dengan nasib bangsa dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tentu saja hal ini berimbas pada perbedaan prioritas serta corak komposisi kebinet seperti apa yang akan diwujudkan nantinya.
Sesungguhnya isu keretakan mereka bukanlah hal yang bersifat ego pribadi, akan tetapi lebih kepada prioritas memajukan bangsa dan negara dari pentingnya ideologi bangsa ini yang harus terus menerus dipertahankan melalui disiplin penerapan kepada generasi bangsa ini.
Akan tetapi, disisi lain negara pun harus memikirkan perut rakyatnya agar jangan sampai pesimis dari berbagai upaya pemerintah sebelumnya yang menjanjikan mereka terhadap kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat UU bahwa kekayaan alam dan segenap isinya sebesar-besarnya demi mewujudkan itu semua, namun hanya kandas oleh pemerintah yang tidak cakap dalam mengimplementasikan antara kewenangan dengan keuangan negara yang tumbuh secara signifikan saat ini. Termasuk pengendalian BUMN yang harus benar-benar pro kepada upaya itu serta politik anggaran yang tajam terhadap pengentasan kemiskinan.
(WH/Red)
Penulis: Andi Salim (Ketua Toleransi Indonesia)