Kabupaten Bogor,- (Nawacitalink.com)
Praktek pengoplosan gas elpiji 3 Kg subsidi ke tabung 12 Kg non subsidi di wilayah Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor sepertinya kebal hukum. Pasalnya hingga saat ini praktek pengoplosan gas bersubsidi itu masih tetap berjalan tanpa tersentuh aparat penegak hukum.
Berdasarkan informasi di lokasi yang diduga tempat pengoplosan tersebut tampak jelas banyaknya tabung gas elpiji ukuran 3 Kg dan tabung gas 12 Kg, dan sejumlah pekerja yang sedang memindahkan tabung gas elpiji 12 Kg ke mobil yang siap diedarkan ke masyarakat.
Tidak sedikit banyak warga sekitar yang merasa resah. Akibat banyak tabung melon yang tidak sesuai takeran sehingga cepat habis.
Salah seorang warga Rumpin, Somad mengaku, dirinya membeli gas melon seringkali cepat habis sebelum waktunya.
” Biasanya kalo beli gas melon bisa sampai 2 Minggu, tapi sekarang. Hanya seminggu lebih 3 hari udah habis,” ujarnya.
Somad mengaku, kalo lokasi pengoplosan gas melon itu sering didatangi oknum berpakaian preman. Bahkan tidak sedikit yang mengaku oknum dari media tertentu. Yang datang hanya untuk koordinasi terkait masalah pengoplosan. Bahkan bila ada rekan-rekan awak media dan lembaga tertentu yang datang ke lokasi langsung diarahkan kepada salah satu Koordinator yang berinisial M.
“ Yang lebih mengherankan lagi, di lokasi pengoplosan tidak ada izin dari Pertamina maupun instansi lainnya. Bahkan tempat lokasi terkesan tertutup,” ungkap Somad.
Untuk diketahui, mengacu kepada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang diubah dengan Pasal 40 angka 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bahwa Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau Liquefied Petroleum Gas yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan hukuman penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp 60 miliar.
Selanjutnya, mengacu pada Pasal 62 junto Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 2 miliar.
(Taufik)