*Focus Group Discussion ‘Konstitusionalitas Haluan Negara di Lemhannas RI, Ketua MPR RI Bamsoet Tegaskan Pentingnya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN)*
*JAKARTA* – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengungkapkan gagasan menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) tidak hadir dari ruang hampa dan tanpa konteks, atau sekedar ‘kegenitan’ untuk menghadirkan romantisme masa lalu. Gagasan tersebut justru mengemuka setelah MPR RI menerima aspirasi berbagai elemen masyarakat, baik forum akademis seperti Forum Rektor dan LIPI, organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, serta organisasi keagamaan.
Tanpa haluan negara, kapal besar Indonesia akan terombang-ambing ditengah gelombang dinamika zaman. Berbagai negara menjadi hebat karena memiliki haluan negara. Tiongkok, misalnya, pada periode tahun 1970an/1980an saja, sudah memiliki rencana pembangunan hingga tahun 2050, yakni pada saat usia kemerdekaan Tiongkok memasuki usia ke-100 tahun.
“Sasaran pembangunan Tiongkok terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama mewujudkan masyarakat Tiongkok yang sejahtera. Tahap kedua Tiongkok menjadi negara maju. Tahap ketiga Tiongkok menjadi negara modern. Tiga tahap tersebut memakan waktu 100 tahun dari mulai kemerdekaan Tiongkok pada 1 Oktober 1949 hingga perayaan ulang tahun ke-100 pada 1 Oktober 2050,” ujar Bamsoet dalam Focus Group Discussion Konstitusionalitas Haluan Negara Guna Menjaga Kesinambungan Pembangunan Nasional, diselenggarakan Lemhannas RI, Jakarta, Senin (28/8/23).
Turut hadir antara lain Ketua DPD RI Lanyalla M. Mattalitti, Gubenur Lemhannas Andi Widjajanto, Sekretaris Utama Lemhannas Komjen Rudy Sufahriadi, Anggota DPD RI sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof. Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial UIN Jakarta Prof. Saiful Mujani, serta Tenaga Profesional bidang Politik Lemhannas Prof. Ikrar Nusa Bhakti.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, kewenangan MPR RI merumuskan PPHN tidak akan melemahkan esensi presidensialisme, atau membatasi otoritas pemerintah dalam ruang presidensiil. Bangsa Indonesia tetap akan menegakkan prinsip presidensialisme, di mana eksekutif dan legislatif sama-sama memperoleh mandat langsung dari rakyat, dan bekerja dalam prinsip checks and balances.
“MPR RI merumuskan arah jangka panjang dan strategis. Sedangkan eksekutif merumuskan visi dan misi yang akan menjadi landasan bekerja selama masa jabatannya. Visi dan misi eksekutif itu punya ruang yang sangat leluasa, sejauh berada dalam kerangka strategis yang terumuskan dalam PPHN. Cara seperti ini akan meningkatkan koherensi strategis dalam prinsip-prinsip kebijakan negara, sambil tetap mempertahankan otonomi presiden dalam mengembangkan rencana kerja dan pembangunan selama masa jabatannya,” jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, tanpa adanya rujukan pembangunan jangka panjang yang bisa memandu dan mengikat, berbagai program pembangunan yang membutuhkan jangka waktu panjang 10 hingga 20 tahun bisa saja mangkrak. Karena, tidak dilanjutkan oleh presiden pengganti.
“Potensi tersebut bisa saja terjadi dalam pembangunan IKN Nusantara yang hanya didasarkan pada UU, sangat rawan ‘ditorpedo’ oleh Perppu maupun di judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Sekaligus tidak memberikan jaminan bahwa pemerintahan periode berikutnya, akan meneruskan kebijakan pembangunan IKN Nusantara,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, jika menghadirkan PPHN melalui amandemen terhadap konstitusi dirasakan bisa menimbulkan kegaduhan politik, maka bisa dilakukan terobosan dan pembaharuan hukum dengan menghadirkan PPHN tanpa amandemen. Yakni melalui konvensi ketatanegaraan dengan menyesuaikan beberapa peraturan perundang-undangan. Karenanya, diperlukan konsensus nasional untuk menyelenggarakan konvensi ketatanegaraan yang melibatkan delapan lembaga tinggi negara, termasuk lembaga kepresidenan.
“Jika sepakat melakukan konvensi, perlu dibentuk dan disusun substansinya. Konvensi ini kemudian dikuatkan dengan Tap MPR. Saat ini MPR masih memiliki kewenangan Tap MPR yang sifatnya keputusan (beschikking). Lebih baik lagi jika penjelasan pasal 7 ayat 1 huruf b pada UU Nomor 12 tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 ditiadakan atau dihapus, sehingga kekuatan Tap MPR yang bersifat regeling atau pengaturan, bisa hidup kembali,” pungkas Bamsoet.
(Rls/Red)