Jakarta,- (Nawacitalink.com)
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan berdasarkan undang-undang Pemilu sekarang Presiden dan Wakil Presiden memang dibolehkan untuk berkampanye Pemilu, baik Pilpres maupun Pileg. Ketentuan Pasal 280 UU Pemilu merinci pejabat-pejabat negara yang tidak boleh kampanye, antara lain Ketua dan Para Hakim Agung, Ketua dan Para Hakim Mahkamah Konstitusi, Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan dan seterusnya. Presiden dan Wakil Presiden serta para Menteri tidak termasuk dalam pejabat negara yang dilarang kampanye.
Bahkan Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu secara tegas menyatakan “Presiden dan Wakil Prediden mempunyai hak untuk melaksanakan kampanye”. Pasal 281 UU itu mengatur syarat-syarat pejabat negara dan Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkampanye antara lain harus cuti di luar tanggungan negara dan tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Jadi Presiden dan Wakil Presiden boleh kampanye, baik mengkampanyekan diri mereka sendiri kalau menjadi petahana, maupun mengkampanyekan orang lain yang menjadi Capres dan Cawapres. Boleh juga kampanye untuk parpol peserta Pemilu tertentu. Pasal-pasal tentang Presiden yang akan berkampanye itu juga mengatur pengamanan dan fasilitas kesehatan Presiden dan Wakil Presiden yang berkampanye. Ketentuan lebih lanjut bagi Presiden dan Wakil Presiden yang akan kampanye diatur oleh Peraturan KPU.
Bagaimana dengan pemihakan? Ya kalau Presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu yang dikampanyekannya. Masa orang kampanye tidak memihak. UU kita tidak menyatakan bahwa Presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak. Ini adalah konsekuensi dari sistem Presidensial yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan Presiden dan Wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45.
Keadaan Jokowi dalam Pemilu 2024 tidak bisa dibandingkan dengan Bung Karno dalam Pemilu 1955. Waktu itu kita menganut sistem Parlementer. Sebagai Kepala Negara, Bung Karno harus berdiri di atas semua golongan. Bung Karno tidak memikul tanggung jawab sebagai Kepala Pemerintahan yang ada pada Perdana Menteri Burhanudin Harahap waktu itu. Wapres Hatta juga mengambil sikap netral dalam Pemilu 1955.
Jadi kalau ada pihak-pihak yang menghendaki Presiden harus netral tidak boleh kampanye dan memihak, maka jabatan Presiden mestinya hanya 1 periode agar dia tidak memihak dan berkampanye untuk jabatan kedua. Itu memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula UU Pemilu harus diubah kalau Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Jokowi tidak salah jika dia mengatakan Presiden boleh kampanye dan memihak.
Sekarang ada yang mengatakan “tidak etis” kalau Presiden kampanye dan memihak dalam Pemilu. Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan undang-undang Pemilu.
Tetapi kalau “etis” dimaknai sebagai “code of conduct” dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Penegakannya dilakukan oleh Dewan Kehormatan seperti MKMK atau Dewan Kehormatan Peradi.
Masalahnya sampai sekarang kode etik sebagai “code of conduct” jabatan Presiden dan Wakil Presiden memang belum ada. Sebab itu, kalau seseorang berbicata etis dan tidak etis, umumnya berbicara sesuatu menurut ukurannya sendiri. Bahkan orang kurang sopan santun atau kurang basa-basi saja, sudah dianggap “tidak etis”. Apalagi dibawa ke persoalan politik, soal etis tidak etis, malah terkait dengan kepentingan politik masing2.
(Rls/Red)
Jakarta, 24 Januari 2024